Minggu, 24 Mei 2015

BAB VI :PEMBANGUNAN EKONOMI DAERAH dan OTONOMI DAERAH

BAB VI : PEMBANGUNAN EKONOMI DAERAH dan OTONOMI DAERAH
A.      Undang-Undang Otonomi Daerah
Otonomi daerah dapat diartikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban yang diberikan kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Sedangkan yang dimaksud dengan daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.
Pelaksanaan otonomi daerah selain berlandaskan pada acuan hukum, juga sebagai implementasi tuntutan globalisasi yang mau tidak mau, suka tidak suka daerah harus lebih diberdayakan dengan cara daerah diberikan kewenangan yang lebih luas, lebih nyata dan bertanggung jawab, terutama dalam mengatur, memanfaatkan dan menggali sumber-sumber potensi yang ada di daerahnya masing-masing.
Kebijakan otonomi daerah lahir ditengah gejolak tuntutan berbagai daerah terhadap berbagai kewenangan yang selama 20 tahun pemerintahan Orde Baru (OB) menjalankan mesin sentralistiknya. UU No. 5 tahun 1974 tentang pemerintahan daerah yang kemudian disusul dengan UU No. 5 tahun 1979 tentang pemerintahan desa menjadi tiang utama tegaknya sentralisasi kekuasaan OB. Semua mesin partisipasi dan prakarsa yang sebelumnya tumbuh sebelum OB berkuasa, secara perlahan dilumpuhkan dibawah kontrol kekuasaan. Stabilitas politik demi kelangsungan investasi ekonomi (pertumbuhan) menjadi alasan pertama bagi OB untuk mematahkan setiap gerak prakarsa yang tumbuh dari rakyat.
Paling tidak ada dua faktor yang berperan kuat dalam mendorong lahirnya kebijakan otonomi daerah berupa UU No. 22/1999. Pertama, faktor internal yang didorong oleh berbagai protes atas kebijakan politik sentralisme di masa lalu. Kedua, adalah faktor eksternal yang dipengaruhi oleh dorongan internasional terhadap kepentingan investasi terutama untuk efisiensi dari biaya investasi yang tinggi sebagai akibat korupsi dan rantai birokrasi yang panjang.
Otonomi daerah merupakan suatu wujud demokrasi yang diberikan Pemerintah Pusat kepada Pemerintah daerah untuk mengurus sendiri rumah tanggannya dengan tetap berpegang kepada peraturan perundangan yang berlaku. Otonomi dijadikan sebagai pembatas besar dan luasnya daerah otonom dan hubungan kekuasaan antara pemerintah pusat dan daerah untuk menghindari daerah otonom menjadi Negara dalam Negara. Daerah otonom adalah batas wilayah tertentu yang berhak, berwenang dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Otonomi Derah membuka kesempatan yang seluas-luasnya bagi daerah untuk mengaktualisasikan segala potensi terbaiknya secara optimal. Kebijakan untuk meningkatkan peranan dan kemampuan pemerintah daerah di bidang ekonomi sebenarnya telah diupayakan sejak awal dilakanakannya pembangunan di Indonesia, yakni, “ Mempercepat pembangunan ekonomi daerah yang efektif dan kuat dengan memberdayakan pelaku dan potensi ekonomi daerah, serta memperhatikan penataan ruang, baik fisik maupun sosial sehingga terjadi pemerataan pertumbuhan ekonomi sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah” (GBHN, 1999).
Selama lima tahun pelaksanaan UU No. 22 tahun 1999, otonomi daerah telah menjadi kebutuhan politik yang penting untuk memajukan kehidupan demokrasi. Bukan hanya kenyataan bahwa masyarakat Indonesia sangat heterogen dari segi perkembangan politiknya, namun juga otonomi sudah menjadi alas bagi tumbuhnya dinamika politik yang diharapkan akan mendorong lahirnya prakarsa dan keadilan. Walaupun ada upaya kritis bahwa otonomi daerah tetap dipahami sebagai jalan lurus bagi eksploitasi dan investasi , namun sebagai upaya membangun prakarsa ditengah-tengah surutnya kemauan baik (good will) penguasa, maka otonomi daerah dapat menjadi “jalan alternative “ bagi tumbuhnya harapan bagi kemajuan daerah.
Namun demikian, otonomi daerah juga tidak sepi dari kritik. Beberapa diantaranya adalah; (1) masalah yang berkaitan dengan penyalahgunaan kekuasaan yang ditandai dengan korupsi “berjamaah” di berbagai kabupaten dan propinsi atas alasan apapun. Bukan hanya modus operandinya yang berkembang, tetapi juga pelaku, jenis dan nilai yang dikorupsi juga menunjukkan tingkatan yang lebih variatif dan intensif dari masa-masa sebelum otonomi diberlakukan. (2) persoalan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam untuk kepentingan (atas nama) Pendapatan Asli Daerah (PAD). Eksploitasi sumber daya alam untuk memperbesar PAD berlangsung secara masif ketika otonomi daerah di berlakukan. Bukan hanya itu, alokasi kebijakan anggaran yang dipandang tidak produktif dan berkaitan langsung dengan kepentingan rakyat juga marak diberbagai daerah. (3) persoalan yang berkaitan dengan hubungan antara pemerintah propinsi dan kabupaten. Otonomi daerah yang berada di kabupaten menyebabkan koordinasi dan hirarki kabupaten propinsi berada dalam stagnasi. Akibatnya posisi dan peran pemerintah propinsi menjadi sekunder dan kurang diberi tempat dari kabupaten dalam menjalankan kebijakan-kebijakannya. Tidak hanya menyangkut hubungan antara propinsi dan kabupaten, tetapi juga antara kabupaten dengan kabupaten. Keterpaduan pembangunan untuk kepentingan satu kawasan seringkali macet akibat dari egoisme lokal terhadap kepentingan pembangunan wilayah lain. Konflik lingkungan atau sumber daya alam yang kerap terjadi antar kabupaten adalah gambaran bagaimana otonomi hanya dipahami oleh kabupaten secara sempit dan primordial. (4) persoalan yang berhubungan dengan hubungan antara legislatif dan eksekutif , terutama berkaitan dengan wewenang legislatif. Ketegangan yang seringkali terjadi antara legisltif dan eksekutif dalam pengambilan kebijakan menyebabkan berbagai ketegangan berkembang selama pelaksanaan otonomi. Legislatif sering dituding sebagai penyebab berkembangnya stagnasi politik ditingkat lokal.
B.      Perubahan Penerimaan Daerah dan Peranan Pendapatan Asli Daerah
C.      Pembangunan Ekonomi Regional
Empat pilar penopang ekonomi regional:
1.      Geografi
2.      Perencanaan Kota
3.      Ekonomi
4.      Teori Lokasi
Kekurangannya : aspek biogeofisik, aspek sosial budaya
6 pilar penopang Ekonomi Regional :
1.      analisa geofisik
2.      analisa kelembagaan
3.      analisa ekonomi
4.      analisa sosial budaya
5.      analisa lingkungan
6.      analisa lokasi
KONSEP RUANG DAN WILAYAH
1.      Konsep Ruang
Beda mandasar ilmu ekonomi dan ekonomi regional :
Ilmu ekonomi menjawab pertanyaan : apa, berapa, bagaimana, untuk siapa, bilamana
Ekonomi regional menjawab kelima pertanyaan di atas + DIMANA
2.      Konsep Wilayah
Wilayah : unit geografis dengan batas tertentgu yang tergantung satu dengan lainnya secara fungsional
a)      Wilayah Homogen ( Homogeneous Region ) : Wilayah yang dipandang dari satu aspek / criteria mempunyai sifat dan cirri yang relative sama, seperti: struktur produksi dan konsumsi, tingkat pendapatan, iklim, budaya, agama.
Contoh : wilayah pertanian pangan, perikanan, perkebunan coklat. Desa, kabupaten, propinsi, ASEAn ( skala internasional )
b)      Wilayah Nodal ( Nodal Region ): Secara fungsional punya ketergantungan antara pusat ( inti ) dan daerah belakangnya ( hinterland ), dilihat dari arus penduduk, faktor produksi, barang dan jasa.
Contoh : Jabodetabek, SIJORI, IMS- GT ( Indonesia Malaysia Singapore Growth Triangle )
c)       Wilayah Perencanaan ( Planning Region )
Menurut Booudeville: Wilayah yang memperlihatkan koherensi atau kesatuan keputusan – keputusan ekonomi cukup besar utk terjadinya perubahan penting dalam penyebaran penduduk, dan kesempatan kerja, namun cukup kecil kemungkinan utk persoalan perencanaan dapat
dipandang sebagai kesatuan.
Contoh : Wilayah Pembangunan dalam Repelita, Propenas, Propeda nasional, propinsi, kabupaten.
d)      Wilayah Administratif: Batas – batasnya ditentukan berdasarkan kepentingan administrasi pemerintahan atau politik spt : prop, kab / kota, kecamatanm, desa/ kelurahan. Kelebihan konsep ini : pengelompokan data berorientasi pada batas wilayah administratif.
e)      Wilayah Pesisir dan Lautan: Merupakan wilayah yang dapat termasuk dalam ke 4 wilayah tsb

D.      Faktor-Faktor Penyebab Ketimpangan
Penyebab ketimpangan ekonomi antar propinsi di Indonesia:
1.       Konsentrasi Kegiatan Ekonomi Wilayah
2.       Alokasi investasi
3.       Tingkat mobilitas FT rendah antar daerah
4.       Perbedaan SDA antar propinsi  
5.       Perbedaan kondisi demografis antar wilayah
6.       Kurang lancarnya perdagangan antar propinsi

E.       Pembangunan Indonesia Bagian Timur
Pembangunan di Indonesia Bagian Timur lebih tertinggal dibandingkan daerah Indonesia bagian lain. Mungkin penyebabnya tanah yang lebih tidak subur dan masalah transportasi. Daerahnya yang agak tandus, jalannya lebih cepat rusak, suhu udaranya yang lebih panas.

F.       Teori dan Analisis Pembangunan Ekonomi Daerah
Teori:
1.       Teori basis ekonomi
Penentu utama pertumbuhan ekonomi suatu daerah adalah permintaan barang dan jasa dari luar daerah termasuk ekspor. Produksi dengan input lokal yang menghasilkan output dijual ke luar daerah menghasilkan Pertumbuhan ekonomi, pendapatan perkapita dan peluang kerja daerah tersebut
2.       Teori lokasi
Teori ini untuk menentukan kawasan industry suatu daerah. Pengusaha rasional berupaya untuk memperoleh keuntungan dengan biaya minimal melalui pemilihan lokasi yang berbiaya minimal
3.       Teori daya tarik industry
Faktor penentu pembangunan industry di suatu daerah mencakup faktor daya tarik industry dan faktor daya saing daerah.
Faktor daya tarik industry:
a)      Produktivitas TK
b)      Industri-industri terkait dalam pengembangan industry untuk meningkatkan NT daerah dan mengurangi ketergantungan impor
c)       Daya saing masa depan
d)      Spesialisasi industry
e)      Potensi X
f)       Prospek bagi permintaan domestik

Faktor daya saing daerah:
a)      Pasar
b)      Persaingan
c)       Keuangan dan ekonomi (NT, kesempatan kerja, keamanan, stabilitas ekonomi, pemanfaatan kapasitas produksi, skala ekonomi, dan infra struktur ekonomi)
d)      Kompleksitas, diferensiasi, paten, hak cipta dan proses T manufaktur

Model analisis pembangunan daerah mencakup:
1.       Analisis SS untuk analisis perubahan struktur ekonomi daerah dibandingkan dengan perekonomian nasional. Titik tolak analisis ini adalah pertumbuhan ekonomi daerah ditentukan oleh 3 faktor:
a)      Komponen pertumbuhan ekonomi nasional atau regional (pangsa pasar propinsi dalam pertumbuhan ekonomi nasional
b)      Pergeseran proporsional atau pergeseran industry mix dimana suatu propinsi yang memiliki pangsa output yang lebih besar untuk industry yang tumbuh pesat harus tumbuh dengan lebih cepat daripada nasional secara keseluruhan
c)       Pergeseran daya saing untuk menentukan tingkat daya saing sector dalam propinsi.
2.       Location Quotients (LQ) adalah teknik memperluas metode SS untuk mengukur konsentrasi dari suatu kegiatan ekonomi atau sector suatu daerah dengan cara membandingkan peranannya dalam perekonomian tersebut dengan tingkat nasional
3.       Angka Pengganda Pendapatan digunakan untuk mengukur potensi kenaikan pendapatan suatu daerah dari suatu keguatan ekonomi yang baru atau peningkatan output dari suatu sector diwilayah tersebut
4.       Analisis Input-Output yaitu untuk mengukur perekonomian suatu daerah dengan melihat keterkaitan antar esktor dalam upaya memahami kompleksitas perekonomian daerah tersebut dan kondisi yang diperlukan untuk mempertahankan keseimbangan antara AS dan AD.
SUMBER:



Tidak ada komentar:

Posting Komentar