BAB VI : PEMBANGUNAN EKONOMI
DAERAH dan OTONOMI DAERAH
A.
Undang-Undang
Otonomi Daerah
Otonomi
daerah dapat diartikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban yang diberikan
kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
dan kepentingan masyarakat setempat untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna
penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan
pelaksanaan pembangunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Sedangkan
yang dimaksud dengan daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang
mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat.
Pelaksanaan otonomi daerah selain
berlandaskan pada acuan hukum, juga sebagai implementasi tuntutan globalisasi
yang mau tidak mau, suka tidak suka daerah harus lebih diberdayakan dengan cara
daerah diberikan kewenangan yang lebih luas, lebih nyata dan bertanggung jawab,
terutama dalam mengatur, memanfaatkan dan menggali sumber-sumber potensi yang
ada di daerahnya masing-masing.
Kebijakan
otonomi daerah lahir ditengah gejolak tuntutan berbagai daerah terhadap
berbagai kewenangan yang selama 20 tahun pemerintahan Orde Baru (OB)
menjalankan mesin sentralistiknya. UU No. 5 tahun 1974 tentang pemerintahan
daerah yang kemudian disusul dengan UU No. 5 tahun 1979 tentang pemerintahan
desa menjadi tiang utama tegaknya sentralisasi kekuasaan OB. Semua mesin
partisipasi dan prakarsa yang sebelumnya tumbuh sebelum OB berkuasa, secara
perlahan dilumpuhkan dibawah kontrol kekuasaan. Stabilitas politik demi
kelangsungan investasi ekonomi (pertumbuhan) menjadi alasan pertama bagi OB
untuk mematahkan setiap gerak prakarsa yang tumbuh dari rakyat.
Paling
tidak ada dua faktor yang berperan kuat dalam mendorong lahirnya kebijakan
otonomi daerah berupa UU No. 22/1999. Pertama, faktor internal yang didorong
oleh berbagai protes atas kebijakan politik sentralisme di masa lalu. Kedua,
adalah faktor eksternal yang dipengaruhi oleh dorongan internasional terhadap
kepentingan investasi terutama untuk efisiensi dari biaya investasi yang tinggi
sebagai akibat korupsi dan rantai birokrasi yang panjang.
Otonomi
daerah merupakan suatu wujud demokrasi yang diberikan Pemerintah Pusat kepada
Pemerintah daerah untuk mengurus sendiri rumah tanggannya dengan tetap
berpegang kepada peraturan perundangan yang berlaku. Otonomi dijadikan sebagai
pembatas besar dan luasnya daerah otonom dan hubungan kekuasaan antara
pemerintah pusat dan daerah untuk menghindari daerah otonom menjadi Negara
dalam Negara. Daerah otonom adalah batas wilayah tertentu yang berhak,
berwenang dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam
ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Otonomi
Derah membuka kesempatan yang seluas-luasnya bagi daerah untuk
mengaktualisasikan segala potensi terbaiknya secara optimal. Kebijakan untuk
meningkatkan peranan dan kemampuan pemerintah daerah di bidang ekonomi
sebenarnya telah diupayakan sejak awal dilakanakannya pembangunan di Indonesia,
yakni, “ Mempercepat pembangunan ekonomi daerah yang efektif dan kuat dengan
memberdayakan pelaku dan potensi ekonomi daerah, serta memperhatikan penataan
ruang, baik fisik maupun sosial sehingga terjadi pemerataan pertumbuhan ekonomi
sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah” (GBHN, 1999).
Selama
lima tahun pelaksanaan UU No. 22 tahun 1999, otonomi daerah telah menjadi
kebutuhan politik yang penting untuk memajukan kehidupan demokrasi. Bukan hanya
kenyataan bahwa masyarakat Indonesia sangat heterogen dari segi perkembangan
politiknya, namun juga otonomi sudah menjadi alas bagi tumbuhnya dinamika
politik yang diharapkan akan mendorong lahirnya prakarsa dan keadilan. Walaupun
ada upaya kritis bahwa otonomi daerah tetap dipahami sebagai jalan lurus bagi
eksploitasi dan investasi , namun sebagai upaya membangun prakarsa
ditengah-tengah surutnya kemauan baik (good will) penguasa,
maka otonomi daerah dapat menjadi “jalan alternative “ bagi tumbuhnya harapan
bagi kemajuan daerah.
Namun
demikian, otonomi daerah juga tidak sepi dari kritik. Beberapa diantaranya
adalah; (1) masalah yang berkaitan dengan penyalahgunaan kekuasaan yang
ditandai dengan korupsi “berjamaah” di berbagai kabupaten dan propinsi atas
alasan apapun. Bukan hanya modus operandinya yang berkembang, tetapi juga
pelaku, jenis dan nilai yang dikorupsi juga menunjukkan tingkatan yang lebih
variatif dan intensif dari masa-masa sebelum otonomi diberlakukan. (2)
persoalan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam untuk kepentingan
(atas nama) Pendapatan Asli Daerah (PAD). Eksploitasi sumber daya alam untuk
memperbesar PAD berlangsung secara masif ketika otonomi daerah di berlakukan.
Bukan hanya itu, alokasi kebijakan anggaran yang dipandang tidak produktif dan
berkaitan langsung dengan kepentingan rakyat juga marak diberbagai daerah. (3)
persoalan yang berkaitan dengan hubungan antara pemerintah propinsi dan
kabupaten. Otonomi daerah yang berada di kabupaten menyebabkan koordinasi dan
hirarki kabupaten propinsi berada dalam stagnasi. Akibatnya posisi dan peran
pemerintah propinsi menjadi sekunder dan kurang diberi tempat dari kabupaten
dalam menjalankan kebijakan-kebijakannya. Tidak hanya menyangkut hubungan
antara propinsi dan kabupaten, tetapi juga antara kabupaten dengan kabupaten.
Keterpaduan pembangunan untuk kepentingan satu kawasan seringkali macet akibat
dari egoisme lokal terhadap kepentingan pembangunan wilayah lain. Konflik
lingkungan atau sumber daya alam yang kerap terjadi antar kabupaten adalah
gambaran bagaimana otonomi hanya dipahami oleh kabupaten secara sempit dan
primordial. (4) persoalan yang berhubungan dengan hubungan antara legislatif
dan eksekutif , terutama berkaitan dengan wewenang legislatif. Ketegangan yang
seringkali terjadi antara legisltif dan eksekutif dalam pengambilan kebijakan
menyebabkan berbagai ketegangan berkembang selama pelaksanaan otonomi.
Legislatif sering dituding sebagai penyebab berkembangnya stagnasi politik
ditingkat lokal.
B.
Perubahan
Penerimaan Daerah dan Peranan Pendapatan Asli Daerah
C.
Pembangunan
Ekonomi Regional
Empat pilar penopang
ekonomi regional:
1. Geografi
2. Perencanaan Kota
3. Ekonomi
4.
Teori Lokasi
Kekurangannya : aspek
biogeofisik, aspek sosial budaya
6 pilar penopang Ekonomi
Regional :
1. analisa geofisik
2. analisa kelembagaan
3. analisa ekonomi
4. analisa sosial budaya
5. analisa lingkungan
6.
analisa lokasi
KONSEP RUANG DAN WILAYAH
1. Konsep Ruang
Beda mandasar ilmu ekonomi dan ekonomi regional
:
Ilmu ekonomi menjawab pertanyaan : apa, berapa, bagaimana, untuk siapa, bilamana
Ekonomi regional menjawab kelima pertanyaan di atas + DIMANA
Ilmu ekonomi menjawab pertanyaan : apa, berapa, bagaimana, untuk siapa, bilamana
Ekonomi regional menjawab kelima pertanyaan di atas + DIMANA
2. Konsep Wilayah
Wilayah : unit geografis dengan batas tertentgu
yang tergantung satu dengan lainnya secara fungsional
a)
Wilayah Homogen (
Homogeneous Region ) : Wilayah yang dipandang dari satu aspek / criteria
mempunyai sifat dan cirri yang relative sama, seperti: struktur produksi dan
konsumsi, tingkat pendapatan, iklim, budaya, agama.
Contoh : wilayah pertanian pangan, perikanan,
perkebunan coklat. Desa, kabupaten, propinsi, ASEAn ( skala internasional )
b)
Wilayah Nodal ( Nodal
Region ): Secara fungsional punya ketergantungan antara pusat ( inti ) dan
daerah belakangnya ( hinterland ), dilihat dari arus penduduk, faktor produksi,
barang dan jasa.
Contoh : Jabodetabek, SIJORI, IMS- GT (
Indonesia Malaysia Singapore Growth Triangle )
c)
Wilayah Perencanaan (
Planning Region )
Menurut Booudeville: Wilayah yang memperlihatkan
koherensi atau kesatuan keputusan – keputusan ekonomi cukup besar utk
terjadinya perubahan penting dalam penyebaran penduduk, dan kesempatan kerja,
namun cukup kecil kemungkinan utk persoalan perencanaan dapat
dipandang sebagai kesatuan.
dipandang sebagai kesatuan.
Contoh : Wilayah Pembangunan dalam Repelita,
Propenas, Propeda
nasional, propinsi, kabupaten.
d)
Wilayah Administratif:
Batas – batasnya ditentukan berdasarkan kepentingan administrasi pemerintahan
atau politik spt : prop, kab / kota, kecamatanm, desa/ kelurahan. Kelebihan
konsep ini : pengelompokan data berorientasi pada batas wilayah administratif.
e)
Wilayah Pesisir dan Lautan:
Merupakan wilayah yang dapat termasuk dalam ke 4 wilayah tsb
D.
Faktor-Faktor
Penyebab Ketimpangan
Penyebab
ketimpangan ekonomi antar propinsi di Indonesia:
1.
Konsentrasi
Kegiatan Ekonomi Wilayah
2.
Alokasi
investasi
3.
Tingkat
mobilitas FT rendah antar daerah
4.
Perbedaan
SDA antar propinsi
5.
Perbedaan
kondisi demografis antar wilayah
6.
Kurang
lancarnya perdagangan antar propinsi
E.
Pembangunan
Indonesia Bagian Timur
Pembangunan di Indonesia
Bagian Timur lebih tertinggal dibandingkan daerah Indonesia bagian lain.
Mungkin penyebabnya tanah yang lebih tidak subur dan masalah transportasi.
Daerahnya yang agak tandus, jalannya lebih cepat rusak, suhu udaranya yang
lebih panas.
F.
Teori
dan Analisis Pembangunan Ekonomi Daerah
Teori:
1. Teori basis ekonomi
Penentu utama pertumbuhan ekonomi suatu
daerah adalah permintaan barang dan jasa dari luar daerah termasuk ekspor.
Produksi dengan input lokal yang menghasilkan output dijual ke luar daerah
menghasilkan Pertumbuhan ekonomi, pendapatan perkapita dan peluang kerja daerah
tersebut
2. Teori lokasi
Teori ini untuk menentukan kawasan industry
suatu daerah. Pengusaha rasional berupaya untuk memperoleh keuntungan dengan
biaya minimal melalui pemilihan lokasi yang berbiaya minimal
3. Teori daya tarik industry
Faktor penentu pembangunan industry di suatu
daerah mencakup faktor daya tarik industry dan faktor daya saing daerah.
Faktor daya tarik industry:
a) Produktivitas TK
b) Industri-industri terkait dalam pengembangan
industry untuk meningkatkan NT daerah dan mengurangi ketergantungan impor
c) Daya saing masa depan
d) Spesialisasi industry
e) Potensi X
f) Prospek bagi permintaan domestik
Faktor
daya saing daerah:
a) Pasar
b) Persaingan
c) Keuangan dan ekonomi (NT, kesempatan kerja,
keamanan, stabilitas ekonomi, pemanfaatan kapasitas produksi, skala ekonomi,
dan infra struktur ekonomi)
d) Kompleksitas, diferensiasi, paten, hak cipta
dan proses T manufaktur
Model analisis
pembangunan daerah mencakup:
1. Analisis SS untuk analisis perubahan
struktur ekonomi daerah dibandingkan dengan perekonomian nasional. Titik tolak
analisis ini adalah pertumbuhan ekonomi daerah ditentukan oleh 3 faktor:
a) Komponen pertumbuhan ekonomi nasional atau
regional (pangsa pasar propinsi dalam pertumbuhan ekonomi nasional
b) Pergeseran proporsional atau pergeseran
industry mix dimana suatu propinsi yang memiliki pangsa output yang lebih besar
untuk industry yang tumbuh pesat harus tumbuh dengan lebih cepat daripada
nasional secara keseluruhan
c) Pergeseran daya saing untuk menentukan
tingkat daya saing sector dalam propinsi.
2. Location Quotients (LQ) adalah teknik
memperluas metode SS untuk mengukur konsentrasi dari suatu kegiatan ekonomi
atau sector suatu daerah dengan cara membandingkan peranannya dalam perekonomian
tersebut dengan tingkat nasional
3. Angka Pengganda Pendapatan digunakan untuk
mengukur potensi kenaikan pendapatan suatu daerah dari suatu keguatan ekonomi
yang baru atau peningkatan output dari suatu sector diwilayah tersebut
4. Analisis Input-Output yaitu untuk mengukur
perekonomian suatu daerah dengan melihat keterkaitan antar esktor dalam upaya
memahami kompleksitas perekonomian daerah tersebut dan kondisi yang diperlukan
untuk mempertahankan keseimbangan antara AS dan AD.
SUMBER:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar